Kamis, 02 Juni 2011

PELAKU

Oleh : Septian dwi putranto
Saat kita mendengar kata pelaku maka yang terlintas dalam pikiran kita adalah seseorang yang berbuat sesuatu, dan ketika mendengar kata pelaku tindak pidana sering kali yang terpikir oleh kita adalah penjahat atau orang yang berbuat jahat.
Untuk dapat mengetahui atau mendefinisikan siapakah pelaku atau daader tidaklah sulit namun juga tidak terlalu gampang. Banyak pendapat mengenai apa yang disebut pelaku. Van Hamel memberikan pengertian mengenai pelaku tindak pidana dengan membuat suatu definisi yang mengatakan bahwa :
Pelaku suatu tindak pidana itu hanyalah dia, yang tindakanya atau kelapaanya memenuhi semua unsur dari delik seperti yangt terdapat dalam rumusan delik yang bersangkutan, baik yang dinyatakan secara tegas maupun tidak dinyatakan secara tegas. (Lamintang 1997:593).
Sedangkan Professor Simons memberikan definisi mengenai apa yang disebut dengan pelaku atau daader sebagai berikut.
Pelaku tindak pidana itu adalah orang yang melakukan tindak pidana yang bersangkutan, dalam arti orang yang dengan suatu kesengajaan atau suatu ketidak sengajaan seperti yang disyaratkan oleh undang-undangtelah menimbulkan suatu akibat yang tidak dikehendaki oleh undang-undang atau telah melakukan tuindakan yang terlarang atau mengalpakan tindakan yang diwajibkan oleh undang-undang, atau dengan perkataan lain ia adalah orang yang memenui semua unsur-unsur suatu  delik seperti yang telah ditentukan didalam undang-undang, baik itu merupakan unsur-unsur subjektif maupun unsure-unsur objektif, tanpa memandang apakah keputusan untuk melakukan tindak pidana tersebut timbul dari dirinya sendiri ataukah timbul karena digerakan oleh pihak ketiga. (Lamintang 1997:594).

Pengertian mengenai siapa pelaku juga dirumuskan dalam pasal 55 KUHP yang rumusanya sebagai berikut.
(1) dipidana sebagai sipembuat suatu tindak pidana ;
ke-1.    Orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau yangb turut melakukan perbuatan itu.
Ke-2.   Orang yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.
(2)     Adapun orang yang tersebut dalam sub 2 itu, yang boleh dipertanggungjawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dubujuk olehnya serta akibat perbuatan itu.
         
Di dalam pasal diatas yang dimaksud dengan orang yang melakukan ialah orang yang berbuat sendiri dalam melakukan tindak pidana atau dapat diartikan bahwa ia adalah pelaku tunggal dalam tindak pidana tersebut.sedangkan yang dimaksud dengan orang yang menyuruh melakukan dalam pasal 55 KUHP  dalam tindak pidana ini pelakunya paling sedikit adalah dua orang, yakni yang menyuruh dan yang disuruh, jadi dalam hal ini pelaku bukan hanya dia yang melakukan tindak pidana melainkan juga dia yang menyuruh melakukan tindak pidana tersebut. Namun demikian tidak semua orang yang disuruh dapat dikenakan pidana, misalnya orang gila yang disuruh membunuh tidak dapat dihukum karena kepadanya tidak dapat dipertanggung jawabkanm perbuatan tersebut, dalam kasus seperti ini yang dapat dikenai pidana hanyalah orang yang menyuruh melakukan. Begitunpula terhadap orang yang melakukan tindak pidana karena dibawah paksaan, orang yang melakukan tindak pidana karena perintah jabatan pun kepadanya tidak dapat dijatuhkan pidana.
Dalam pasal 55 KUHP diatas orang yang turut melakukan tindak pidana juga disebut sebagai pelaku. Turut melakukan disini diartikan sebagi melakukan bersama-sama, dalam tindak pidana ini minimal pelakunya ada dua orang yaitu yang melakukan dan yang turut melakukan.
dalam pasal 55 KUHP pelaku meliputi pula mereka yang dengan pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan, atau martabat, memakai paksaan dan sebagainyadengan sengaja menghasut supaya melakukan perbuatan itu.
Jadi dapat disimpulkan bahwa pelaku bukan lah hanya dia yeng lekukan perbuatan pidana sendiri dan perbuatanya memenuhu rumusan delik dalam Undang-undang tetapi juga mereka yang menyuruh melakukan, yang turut melakukan dan orang yang dengan bujuk rayu, perjajnjian dan sebagainya menyuruh melakukan perbuatan pidana.

DEFINISI TERORISME

Oleh : Septian Dwi Putranto
Untuk memberi definisi mengenai terorisme tidaklah mudah karena definisi terorisme sendiri sampai sekarang masih menimbulkan silang pendapat, banyaknya masalah yang terkait dengan tindak pidana terorisme mengakibatkan pengertian terorisme masih dipahami secara berbeda beda.
Kata terror berasal dari bahasa latin terrere yang kurang lebih diartikan sebagai kegiatan atau tindakan yang dapat menyebabkan pihak lain ketakutan ( Hakim 2004: 9)
Hampir disetiap Negara mempunyai pendapat yang berbeda-beda mengenai pengertian dari terorisme itu sendiri. Di Amerika sendiri terdapat beberapa definisi mengenai terorisme diantaranya adalah definisi terorisme menurut Departements of State and Defense dan Federal Bureau of Investigation atau FBI.  
Menurut Departements of State and Defense yang merupakan departemen pertahanan amerika serikat, terorisme adalah kekerasan yang bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok sub nasional terhadap sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk memengaruhi audien..(http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme)
Sedangkan definisi terorisme menurut FBI adalah penggunaan kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai tujuan-tujuan sosial atau politik . (http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme).
Di Indonesia sendiri definisi terorisme terdapat dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada  Pasal 1 butir 1 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme meyatakan bahwa Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Kemudian definisi terorisme tersebut diperjelas dalam pasal 6 dan pasal 7 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tersebut. Dimana  dalam Pasal 6 Perpu Nomor 1 Tahun 2002 dapat kita lihat rumusan sebagai berikut :
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4  (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Sedangkan dalam pasal 7 Perpu Nomor 1 Tahun 2002, orang yang dapat dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme adalah
Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa atau harta benda orang lain, atau untuk menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, atau lingkungan hidup, atau fasilitas publik, atau fasilitas internasional, dipidana dengan pidana penjara paling lama seumur hidup.

peran korban dalam tindak pidana perkosaan sebagai pertimbangan hakim dalam menjatuhkan berat ringanya putusan

Oleh : Septian Dwi Putranto


A. Latar Belakang Masalah
Negara Republik  Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-undang dasar Negara 1945 yang menjujung tingi hak dan kewajiban bagi warga Negaranya. Bagi warga Negara Indonesia haruslah taat dan sadar pada Hukum, dan kewajiban Negara untuk menegakan dan menjamin kepastian hukum bagi warga negaranya.
Hukum harus selalu ditegakan guna mencapai cita-cita dan trujuan Negara Indonesia dimana tertuang dalam pembukaan alinea ke-empat yaitu membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukankesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Salah satu bidang hukum yang harus di tegakan adalah bidang hukum pidana, karena eksistensinya sampai saat ini masih diakui sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi atau mencegah terjadinya kejahatan.
Berbicara masalah hukum pidana maka tidak akan terlepas dari empat nasalah utama yaitu masalah pelaku, masalah perbuatan, masalah punishment dan masalah korban. Dalam masalah pelaku sendiri hukum pidana lebih cenderung membahas mengenai sifat bersalahnya pelaku tidak pidana, apakah dia dapat dikenai pertanggung jawaban pidana atau tidak, dan mengenai ada tidak nya alasan pembenar maupun alasan pemaaf pada pelaku. Mengenai masalah perbuatan lebih menitik beratkan pada perbuatan tersebut melawan hukum atau tidak  (criminal act). Pada masalah punishmen akan lebih menitikberatkan pada stelsel hukum pidana. Yang keempat  adalah masalah korban, masalah korban seringkali dilupakan dalam masalah pidana, padahal korban merupakan pihak yang seharusnya diperhatikan.
Kajian mengenai korban sendiri dipelajari dalam suatu disiplin ilmu tersendiri yang kita kenal dengan viktimologi, dalam viktimologi terdapat bebagai kajian mengenai korban diantaranya adalah mengenai peranan korban dalam suatu tindak pidana.
Dalam kajian victimologi terjadinya viktimisasi peranan korban dapat menjadi faktornya  Artinya korban dipandang dapat memainkan peran dan menjadi unsur yang penting dalam suatu tindak pidana yang menimbulkan korban ( viktimisasi). Begitu eratnya peranan korban dalam terjadinya viktimisasi yang disebabkan interaksi lebih dahulu antara korban dan pelaku, Heting menghipotesakan bahwa dalam beberapa hal, korban membentuk dan mencetak penjahat dan kejahatnya (Iswanto dan Angkasa 2010 :27).

Korban mempunyai peranan yang fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan, bahkan dalam beberapa kejahatan seringkali peran korban memegang peranan penting adalam terjadinya kejahatan tersebut.
Dalam kasus pembunuhan misalnya sebagaimana yang dikemukakan oleh Wolfgang, berdasarkan analisis terhadap studi statistik ditemukan bahwa satu korban diantara empat kasus pembunuhan ikut mempercepat pembunuhan tersebut. Begitu pula dikemukakan oleh Amir  yang mengkaji kasus pemerkosaan, yang menunjukan bahwa korban berpartisipasi dan mempercepat satu diantara kasus perkosaan. Hasil studi tersebut diperkuat oleh hasil penelitian Meir dan Meite pada tahun 1993, menunjukan bahwa dalam kasus perkosaan tingkat victim precipitation  (VP) mencapai sekitar 4-19 % karna kelalaian korban. (Iswanto dan Angkasa 2010 :28).

Dari data tersebut dapat diasumsikan bahwa selain faktor adanya niat pelaku dan adanya kesempatan, faktor peran korban juga memegang peran penting dalam terjadinya suatu tindak pidana, diantaranya tindak pidana perkosaan. Karna peran korban yang cenderung besar dalam terjadinya tidak pidana perkosaan, maka tidaklah berlebihan jika peranan korban dalam tindak pidana perkosaan dijadikan suatu pertimbangan oleh hakim dalam memutus berat ringanya suatu putusan.
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian guna menyusun skripsi dengan judul
“ PERAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA PERKOSAAN SEBAGAI PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN BERAT RINGANNYA PUTUSAN “

B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut:
1.         Bagaimanakah peranan korban terhadap terjadinya perkosaan di Purwokerto
2.         Apakah peranan korban dalam tindak Pidana perkosaan dijadikan sebagai pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan berat ringannmya putusan.

C. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan penelitian dalam penulisan karya tulis ini adalah :
1.      Untuk mengetahui sejauh mana peran korban dalam terjadinya suatu tindak pidana perkosaan di Purwokerto.
2.      Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh peranan korban dalam tindak pidana perkosaan dijadikian pertimbangan terhadap berat ringanya putusan hakim.
D. Kegunaan Penelitian
1.   Kegunaan Teoritis
a.  Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu Hukum Pidana pada umumnya dan Viktimologi pada kususnya.
b.  Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai masukan, sumber data dan referensi bagi pihak-pihak yang mempunyai kepentingan dalam penelitian ini.
2.   Kegunaan Praktis
Menambah literatur kepustakaan hukum pidana terutama mengenai masalah peranan korban dalam tindak pidana perkosaan.

E. Kerangka Teoritis
1.   Tinjauan Umum Tentang Viktimologi
a. Pengertian Viktimologi
Viktimologi dapat dikatakan sebagai kajian yang relatif baru dibandingkan dengan cabang ilmu lain seperti sosiologi dan kriminologi karena viktimologi baru muncul dan poluler pada pertengahan abad ke 20. Sekalipun usianya relatif muda, namun peran viktimologi tidak lebih rendah dibandingkan dengan cabang-cabang ilmu lain.
Viktimologi secara etimlogis, berasal dari kata “victima” (Latin) yang berarti korban dan “logos” (Yunani) berarti pengetahuan atau ilmu pengetahuantentang korban. Pengertian tersebut yang menggunakan kata “pengetahuan” atau “ilmu pengetahuan” memang masih menampakan belum adanya suatu ketegasan apakah viktimologi itu merupakan pengetahuan atau sudah merupakan ilmu pengetahuan. Ini terjadi karena ada beberapa fihak yang masih berpandangan viktimologi hanya pengetahuan cabang kriminologi, namun ada pula yang berpandangan bahwa viktimologi sudah merupakan ilmu pengetahuan yang sejajar dengan ilmu-ilmu lainya. (Iswanto dan Angkasa 2010 : 1 )
Pengertian lain dari viktimologi dapat kita peroleh dari beberapa sumber diantaranya dari internat. dalam suatu situs memberikan devinisi viktimologi sebagai berikut
Viktimologi adalah suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang mempelajari masalah korban kriminal sebagai suatu masalah manusia yang merupakan suatu kenyataan sosial dan viktimologi merupakan bagian dari kriminologi yang mempunyai objek studi yang sama, yaitu kejahatan atau korban criminal (http://replaz.blogspot.com/2008/09/viktimologi.html).

Dari pengertian di atas, tampak jelas bahwa yang menjadi objek pengkajian viktimologi adalah mengenai korban.
b. Ruang Lingkup Victimologi
Viktimologi meneliti topik-topik tentang korban, seperti, peranan korban pada terjadinya tindak pidana, hubungan antara pelaku dan korban, rentanya posisi korban dan peranan korban dalam sistem peradilan pidana.
Menurut J.E Sahetapy ruang lingkup Viktimologi meliputi bagaimana seseorang dapat menjadi korban yang ditentukan oleh suatu victimity  yang tidak selalu berhubungan dengan masalah kejahatan (Mansur dan Gultom, 2007 :43 )
Selain itu viktimologi merupakan suatu ilmu pengetahuan  yang mempunyai tujaun untuk :
a. Menganalisis berbagai aspek masalah korban (to analize the manifold aspec of thr victim’s problem). Dalam tujuan untuk menganalisa berbagai aspek masalah korban ini meliputi kerugian dan atau penderitaan korban.
b.    Menjelaskan sebab-sebab terjadinya pengorbanan (to explain the causes for victimization). Hal ini meliputi suatu analisis serta penjelasan tentang faktor faktor yang menyebabkan timbulnya korban. Dalam kajian viktimologi akan tampak bahwa timbulnya korban tidak mutlak disebabkan oleh kesalahan pelaku kejahatan, namun dapat pula disebabkan oleh kesalahhan korban dari tingkat yang ringan hingga kesalahan penuh dipihak korban.
c.    Menciptakan system kebijakan dalam upaya mengurangi penderitaan manusia (to develop a system of measures for reducing human suffering). Hal ini dapat berupa kebijakan perlindungan hukum bagi korban berupa pemberian hak dalam system peradilan pidana maupun kebijakan lain berupa restitusi dan atau kompensasi. (Separovic dalam Iswanto dan Angkasa, 2010 : 15)

2. Tinjauan Tentang korban
a. Pengertian Korban
Pentingnya pengertian korban diberikan dalam pembahasan ini adalah untuk membantu menentukan secara jelas batas-batas apa yang menjadi pengertian korban.
Berbagai pengertian korban banyak dikemukakan baik oleh ahli maupu narasumber, sebagian diantaranya adalah sebagai berikut.


1)      Arif gosita.
Menurutnya, korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri dan orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi yang menderita. ( Gosita, 1985 : 41)
2)      Muladi.
Berbeda dengan Arif Gosita yang memberi pengertian korban sebatas pada mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan, Muladi member prespektif berbeda mengenai korban. Menurut Muladi yang dimaksud dengan korban adalah :
Orang yang baik secara individual maupun kolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik maupun mental, emosional, ekonomi, gangguan substansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing Negara termasuk penyalahgunaan kekuasaan. (Mansur dan Gultom, 2007 : 47 )

3)      Cohen
Cohen mengungkapkan bahwa korban adalah “whose pain and suffering have been neglectedby the state while it spands immense  resources to hunt down and punish the offender who responsible for that pain and suffering.” (Mansur dan Gultom, 2007:46)
4).     Barda Nawawi Arief menyatakan korban adalah
Orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang berlaku di suatu negara, termasuk peraturan-peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu korban termasuk juga orang-orang yang menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi sudah merupakan pelanggaran menurut norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional. (http://gendo.multiply.com/journal/item/7/URGENSI_VONIS_REHABILITASI_TERHADAP_KORBAN_NAPZA_DI_INDONESIA

b. Tipologi korban kejahatan.
Mendelsohn membuat suatu tipologi korban yang di klasifikasikan menjadi 6 tipe, tipologi yang dimaksud adalah sebagai berikut.
a.    The “completely innocent victim”. Korban yang samasekali tidak bersalah oleh Mendeson dianggap sebagai korban “ideal” yang cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban.
b.    The “victim whit minor guilty” and victim due to his ignorance”. Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan kelalaian dapat dicontohkan seorang wanita yang menggoda tetapi salah alamat, sebagai akibat malah dia menjadi korban.
c.    The “victim as guilty as offender” and “ voluntary victim”. Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh mendelsohn dibagi menjadi beberapa sub tipe sebagai berikut.
1) bunuh diri “dengan melemparkan uang logam”;
2) bunuh diri dengan adhesi;
3) euthanasia;
4)  bunuh diri yang dilakukan suami isteri (misalnya pasangan suami isteri yang putus asa karena salah satu pasangan sakit).
d.    The “victim more guilty than the offender”. Dalam hal korban kesalahnaya lebih besar daripada pelaku ini ada dua tipe yakni :
1)  korban yang memancing dan atau menggoda seeorang untuk berbuat jahat;
2)  korban lalai yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan kejahatan.
e.    The “most guilty victim” and the “ victim as is gultu alone”. Korban yang sangat salah dan korban yang salah sendirian misalnya terjadi pada korban yang sangat agresif terlebih dahulu melakukan kejahatan namun akirnya justeru ia sendiri yang menjadi korban (misalnya penyerang yang mati akibat pembelaan diri dari orang lain yang diserang).
f.     The “simulating victim” and the “imagine as victim”. Korban pura-pura dan korban imajinasi oleh Mandesohn dicontohkan pada mereka yang mengaku menjadi korban demi kepentingan tertentu atau orang yang menjadi paranoid, hysteria atau pikun. (Iswanto dan Angkasa 2010:28).

Sedikit berbeda dengan Mendelson yang membuat tipologi korban berdasarkan tingkat kesalahan, Schafer membagi tipe korban dalam kategori yang tergantung pada pertanggung jawaban korban dalam tindak pidana tersebut. Tipologi tersebut adalah :
a.    “unrelated victim” yakni kejahatan dilakukan oleh pembuat kejahatan tanpa ada hubungan apapun dengan korban.
b.    “profokatif victim” disini korban memancing pembuat kejahatan untuk melakukan untuk melakukan kejahatan dengan perilaku tertentu mialnya korban mengingkari janji.
c.    “precipicatif victims” adalah “pelaku melakukan kejahatan karena tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku melakukan kejahatan.
d.    “biological weak victims” yakni saiapa saja yang secara fisik atau mental lemah misalnya orang yang sangat muda atau sangat tua dan orang yang tidak sadar yang menjadi target kejahatan.
f.     “ social weak victims” misalnya kaum imigran atau minoritas etnik yang memiliki posisi sosial yang lemah dalam masarakat dan sering dieksploitasi oleh elemen kejahatan.
g.    “ self-victimizing victims” dan “political victim”. Self-victimizing victim adalah korban dari tindakanya sendiri sebab mereka berkorban sendiri. (Yazid efendi 2001 : 28 )

3. Tinjauan tentang Tindak Pidana.
Berikut merupakan pendapat para ahli hukum mengenai pengertian tindak pidana, antara lain:
1)  Sudarto memberikan pendapat bahwa “delik” itu mengandung perbuatan yang mengandung perlawanan hak yang dilakukan dengan salah dosa yanag sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut di pertanggungjawabkan. (Sudarto,1990:42).
2)  Dalam website resmi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan definisi Tindak Pidana memiliki pengertian perbuatan setiap orang/subjek Hukum yang berupa kesalahan yang bersifat melanggar Hukum ataupun tidak sesuai dengan Undang-Undang yang berlaku. (http://www.jdih.bpk.go.id/informasihukum).
Dari pengertian diatas maka dapat kita ambil kesimpulan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang dimana orang tersebut mempunyai kemampuan untuk bertanggung jawab, dimana perbuatan yang dilakukan tersebut bersifat melawan hukum dan melanggar peraturan perundang-undangan sehingga perbuatan tersebut diancam dengan suatu pemidanaan yang bertujuan untuk memberikan efek jera bagi orang yang melakukan perbuatan tersebut.
4. Tinjauan tentang Perkosaan
Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan adalah contoh kerentanan posisi perempuan terhadap laki-laki terutama terhadap kepentingan seks laki-laki. Citra seks perempuan yang selalu ditempatkan sebagai objek seks laki-laki berimplikasi jauh terhadap kehidupan perempuan. Ia selalu menghadapi kekerasan pemaksaan dan penyiksaan fisik. Perkosaan pada intinya merupakan bentuk hubungan yang dilakukan secara paksadan merugikan pihak perempuan sebagai korban.

Kejahatan perkosaan dalam hal persetubuhan dimuat dalam Pasal 285 KUHP yang rumusanya sebagai berikut.
“Barang siapa  dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia diluar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Dalam Pasal 285 KUHP tersebut mensyaratkan keharusan adanya persetubuhan dengan wanita yang bukan istrinya disertai dengan ancaman kekerasan. Menurut pasal tersebut, perkosaan ditandai dengan penetrasi penis kedalam lubang vagina dalam hubungan seks yang disertai dengan kekerasan fisik terhadap korban oleh pelaku.
5. Putusan Pengadilan.
Pengertian Putusan Pengadilan terdapat dalam Pasal 1 butir 11 KUHAP yang menyatakan bahwa.
“Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini".
Sebelum memberikan putusan hakim, tentusaja suatu perkara harus melalui pemeriksaan didalam sidang pengadilan dengan minimal harus didasari oleh dua alat bukti dan berdasar keyakinan hakim, keyakinan hakim diperoleh setelah pemeriksaan alat bukti dan berbagai pertimbangan hakim.
Jadi dapat dikatakan bahwa putusan pengadilan merupakan akir dari proses persidangan pidana untuk tahap pemeriksaan di pengadilan negeri. Putusan pengadilan ini hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan harus di tandatangani Hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan.

F. Metode Penelitian
1. Metode Pendekatan
Metode pendekatan yang digunakan dalam penyusunan karya tulis ini adalah metode penekatan yuridis sosiologis atau “sosio legal research” yaitu metode pendekatan yang memandang hukum sebagai suatu fenomena sosial, yang didalam interaksinya tidak lepas dari faktor-faktor non Hukum  (Suggono, 2003 : 101 )
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, yang bertujuan untuk menggambarkan serta menganalisis keadaan atau gejala objek dalam suatu penelitian tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang bersifat umum.
3. Sumber data
a) Data Primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari lapangan berupa wawancara dengan pihak terkait dalam hal ini Hakim, korban perkosaan, dan keluarga korban.
b) Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, pereturan Perundang-undangan , msupun internet yang ada hubungannya dengan materi ini.

4. Metode Pengumpulan Data
a) Data primer , pada data yang bersifat primer diambil dengan menggunakan metode wawancara secara langsung yaitu dengan Hakim, korban dan keluarga korban.
b) Data sekunder , metode pengumpulan data pada data sekunder yaitu dengan melkukan studi dokumen berupa mempelajari buku-buku, peraturan Perundang-undangan, maupun internet yang ada kaitanya dengan materi ini.

5. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah (PII) Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal Soedirman dengan menelaah pustaka yang berkaitan dengan kajian penelitian serta tanya jawab langsung dengan Hakim di Pengadilan Negeri Purwokerto.
6. Metode Penyajian Data
Data yang berhasil dikumpulkam selama mengadakan penelitian akan disajikan dalam bentuk uraian secara sistematis.
7. Metode Analisis Data
Data dianalisa secara kualitatif, yaitu penelitian yang memusatkan pada deskripti

DAFTAR PUSTAKA
Literatur
Angkasa dan iswanto, 2010, Viktimologi, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Effendi, Yazid, 2001, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku Kejahatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto.
Gosita, Arif, 1985, Masalah Korban Kejahatan, PT Akademia Presindo, Jakarta.
Mansyur, Dikdik M. Arief dan Gultom, Elisatris,2007, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma dan Realita, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Sudarto. 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang.

Undang-Undang :
 Kitab Undang-Undang Hukum pidana

Dari Internet :

rental mobil

untuk anda yang membutuhkan mobil rental, kami menyediakan mobil suzuki apv sebagai mobil rental. alamat kami ada di desa rawalo Rt 3 Rw 2 kecamatan rawalo, Kabupaten banyumas tidak jauh dari kota purwokerto, kami memasang tarif Rp. 200.000 setiap pemakaian 12 jam berlaku kelipatan. silahkan hubungi kami di nomor 085227562456